Selasa, 09 Februari 2016

Aneka Batik Gonggong















Filosofi Batik Gonggong





Motif Batik Lawana





















Batik Gonggong "Lawana"




Arti Logo Merk Lawana



ARTI LOGO MERK LAWANA

1.      Kata “LAWANA” :  berasal dari bahasa Melayu “ lawa” yang artinya cantik, bagus atau indah. Sedangkan suku kata “na” sama dengan  suku kata“nya” dalam bahasa Indonesia yang diucapkan dalam logat atau aksen bahasa Melayu yang artinya “paling”  atau “sangat”  (superlatif). Jadi sebutan “lawana” mengandung arti “sangat cantik” atau “paling cantik”.
2.      Tulisan “Batik Kreasi Tanjungpinang” : sebagai identitas bahwa batik ini berasal dan hasil kreasi dari Kota Tanjungpinang.
3.      Gambar “gonggong” (sejenis siput) adalah biota laut yang banyak terdapat di Tanjungpinang sebagai motif yang dipakai pada aplikasi batik.
4.      Warna jingga (orange) : adalah warna yang sangat cerah dan membangkitkan semangat, fresh and natural. Jingga (orange) sangat aktif dan energik merupakan sebuah simbol kebahagiaan yang mewakili sunshine, antusiasme, dan kreativitas.
5.      Hijau: Hijau terkait erat dengan alam. Ini merupakan warna yang sangat menyejukkan dan melambangkan pertumbuhan, kesegaran, serta harapan.
6.      Kuning:  melambangkan pencerahan dan intelektualitas.
7.      Bentuk logo seperti tameng artinya selalu siap menghadapi persaingan.

Lawana Batik Kreasi Tanjungpinang


Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat





Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat Sebuah Simbol
Persis di depan Tanjungpinang, terlihat sosok pulau mungil melintang  yang berbukit dengan hijauan tumbuhan serta deretan rumah-rumah sepanjang pantai yang diselingi pohon kelapa. Di antara keheningan pulau tersebut menyembul sebuah bangunan berwarna kuning cerah dengan kubah dan menara  yang menjulang ke langit, itulah Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat.
Masjid ini merupakan peninggalan sejarah yang dapat dikatakan monumental,dengan gaya arsitektur yang unik dan menarik hasil karya masyarakat dua abad yang lampau. Sampai saat ini masih terpelihara dengan baik dan digunakan sebagai tempat ibadah. Selain masjid terdapat juga bangunan gedung-gedung, makam-makam dan reruntuhan bangunan bekas istana yang sampai saat ini masih dapat di lihat.
Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat ini walau kecil, tetapi terkesan megah, sanggam dan indah. Kemegahan dan keindahannya mencerminkan keagungan agama islam yang dituangkan dalam wujud sebuah bangunan rumah ibadah.
Seruan Fisabilillah
                Semasa masih berdirinya Kerajaan Riau-Lingga terjadi dua peristiwa seruan Fisabilillah. Peristiwa pertama pada abad ke 18, masa Yang Dipertuan Muda Riau IV Raja Haji Fisabilillah, yaitu perang melawan penjajahan Belanda. Seruan yang membuat berkumpulnya laskar gabungan orang-orang Riau, Siantan, Naning, Lingga, Inderagiri dan Bengkalis berjumlah ribuan orang, bersatu dengan semangat patriotik bangkit melawan musuh yang bersenjata lengkap. Seruan ini juga membuat mereka rela berkorban harta benda bahkan nyawa tanpa rasa takut, syahid menemui ajalnya di jalan ALLah.
                Seruan kedua bergema di masa Yang Dipertuan Muda Riau VII Raja Abdurrahman, bertepatan dengan 1 Syawal 1249 H (1832 M). Setelah selesai sholat Idul Fitri, beliau menyampaikan khotbah dan menutup dengan doa, diumumkan kepada seluruh penduduk Pulau Penyengat, bahwa akan dibangun sebuah masjid dari beton yang mencerminkan keagungan agama Islam. Pada kesempatan itu diserukan kepada penduduk dan segenap orang-orang yang berada di wilayah Kerajaan Riau Lingga untuk menyumbang, beramal jariah dijalan Allah dan pembangunan akan segera dilaksanakan. Seruan ini mendapat tanggapan luar biasa, berdatangan orang-orang dari pelosok negeri yang merasa terpanggil untuk menyumbangkankan tenaganya.
                Awal pembangunan dimulai dengan membuat tapak bangunan mesjid, masyarakat secara bergotong royong mengangkat tanah, pasir, batu dan kerikil menjadi pondasi setinggi hampir 3 meter. Tidak tercatat berapa lama pembangunan mesjid tersebut tetapi pengerjaan pondasi selama tujuh hari tujuh malam.
                Dalam riwayat pembangunan mesjid ini, tidak ketinggalan kaum wanitanya, anak-anak bangsawan dan puteri-puteri raja. Mereka diberi waktu khusus pada malam hari, karena dimalam hari kaum laki-laki beristirahat.
                Riwayat lain yang tidak kalah menariknya  dalam pembangunan masjid ini, orang-orang yang datang selain menyumbang tenaga, terkumpul pula bahan makanan termasuk telur yang melimpah tidak habis dimakan. Begitu banyaknya telur,  pekerja hanya mengambil bagian kuningnya saja untuk dimakan dan membuang putihnya.
                Saat itulah arsitek masjid asal India yang didatangkan dari Singapura, memanfaatkan putih telur sebagai bahan campuran pasir, tanah liat dan kapur untuk lebih memperkuat dinding beton masjid ini.
Simbol Kebersamaan
                Dari riwayat dan cerita seruan fisabilillah, baik pertempuran melawan penjajahan maupun seruan pembangunan Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat, merupakan gambaran kebersamaan dan semangat patriotik dari masyarakat Pulau Penyengat khususnya dan masyarakat Kerajaan Riau Lingga umumnya dalam mempertahankan tanah tumpah darahnya, dan membangun daerahnya.
                Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat tidak hanya menjadi  kebanggaan masyarakat Pulau Penyengat tetapi juga menjadi kebanggaan Kepulauan Riau bahkan Indonesia. Masjid ini  merupakan simbol masyarakat agamis dan semangat kebersamaan penduduk Pulau Penyengat yang harus tetap dipertahankan untuk mewujudkan masyarakat sejahtera lahir dan bathin.
                Untuk itu jiwa dan rasa kebersamaan yang telah mengakar perlu dilestarikan sebagai salah satu bentuk kearifan lokal yang terpelihara dan menjadi ciri khas masyarakat Pulau Penyengat.
                Pulau Penyengat juga sedang dalam proses untuk ditetapkan sebagai Destinasi Pariwisata Unggulan Daerah (DPUD) Provinsi Kepulauan Riau.


Logo Tanjungpinang Kampong Kite





FILOSOFI “TANJUNGPINANG KAMPONG KITE!”
Kampong (kampung, hometown) di dalam konteks “Tanjungpinangpinang Kampong Kite!” tidak seperti definisi atau pengertian “kampung” sebagai daerah hunian masyarakat yang berpenghasilan rendah dengan kondisi fisik yang kurang baik, atau kawasan kumuh dengan ketersediaan sarana umum buruk atau tidak ada sama sekali.
Kampung di sini lebih mengarah kepada pengertian kampung sebagai suatu lingkungan tradisional khas Indonesia (Melayu), yang ditandai ciri kehidupan yang terjalin dalam ikatan kekeluargaan yang erat. Di Tanjungpinang secara demografi masyarakatnya bersifat heterogen terdiri dari berbagai suku/etnis yang ada di Indonesia.
Secara psikologis sebutan kampung (kampong) akan membuat seseorang mengingat masa lalu, mengingat jejak-jejak kehidupan yang pernah dijalani, bagi yang dilahirkan di daerah tersebut akan mengenang sebagai tumpah darah.
Melalui slogan” Tanjungpinang Kampong Kite!” diharapkan masyarakat baik yang berada di dalam maupun di luar Tanjungpinang peduli untuk mewujudkan Tanjungpinang ke depan lebih baik, maju dengan semangat “sense of belonging” yang tinggi dan bangga menjadi orang Tanjungpinang.
Gambar “cogan” yang biasa disebut dengan istilah “sirih besar” di latar belakang tulisan “Tanjungpinang Kampong Kite!” merupakan salah satu dari benda kebesaran Kerajaan Johor Pahang Riau Lingga memiliki makna bahwa di Tanjungpinang pernah ada kerajaan yang melahirkan 2 (dua) Pahlawan Nasional, yaitu Raja Haji Fisabilillah dan Raja Ali Haji (Penggubah Gurindam Dua Belas).