Minggu, 14 Februari 2016
Selasa, 09 Februari 2016
Arti Logo Merk Lawana
ARTI LOGO MERK LAWANA
1.
Kata
“LAWANA” : berasal dari bahasa Melayu “
lawa” yang artinya cantik, bagus atau indah. Sedangkan suku kata “na” sama
dengan suku kata“nya” dalam bahasa
Indonesia yang diucapkan dalam logat atau aksen bahasa Melayu yang artinya “paling” atau “sangat” (superlatif). Jadi sebutan “lawana” mengandung
arti “sangat cantik” atau “paling cantik”.
2.
Tulisan
“Batik Kreasi Tanjungpinang” : sebagai identitas bahwa batik ini berasal dan
hasil kreasi dari Kota Tanjungpinang.
3.
Gambar
“gonggong” (sejenis siput) adalah biota laut yang banyak terdapat di
Tanjungpinang sebagai motif yang dipakai pada aplikasi batik.
4.
Warna
jingga (orange) : adalah warna yang sangat cerah dan membangkitkan
semangat, fresh and natural. Jingga
(orange) sangat aktif dan energik merupakan sebuah simbol kebahagiaan yang mewakili sunshine,
antusiasme, dan kreativitas.
5.
Hijau: Hijau terkait erat dengan alam. Ini merupakan warna yang
sangat menyejukkan dan melambangkan pertumbuhan, kesegaran, serta harapan.
6.
Kuning: melambangkan pencerahan dan intelektualitas.
7.
Bentuk
logo seperti tameng artinya selalu siap menghadapi persaingan.
Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat
Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat Sebuah Simbol
Persis di
depan Tanjungpinang, terlihat sosok pulau mungil melintang yang berbukit dengan hijauan tumbuhan serta deretan
rumah-rumah sepanjang pantai yang diselingi pohon kelapa. Di antara keheningan
pulau tersebut menyembul sebuah bangunan berwarna kuning cerah dengan kubah dan
menara yang menjulang ke langit, itulah
Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat.
Masjid ini
merupakan peninggalan sejarah yang dapat dikatakan monumental,dengan gaya
arsitektur yang unik dan menarik hasil karya masyarakat dua abad yang lampau. Sampai
saat ini masih terpelihara dengan baik dan digunakan sebagai tempat ibadah. Selain
masjid terdapat juga bangunan gedung-gedung, makam-makam dan reruntuhan
bangunan bekas istana yang sampai saat ini masih dapat di lihat.
Masjid Raya Sultan
Riau Pulau Penyengat ini walau kecil, tetapi terkesan megah, sanggam dan indah.
Kemegahan dan keindahannya mencerminkan keagungan agama islam yang dituangkan
dalam wujud sebuah bangunan rumah ibadah.
Seruan Fisabilillah
Semasa masih
berdirinya Kerajaan Riau-Lingga terjadi dua peristiwa seruan Fisabilillah.
Peristiwa pertama pada abad ke 18, masa Yang Dipertuan Muda Riau IV Raja Haji
Fisabilillah, yaitu perang melawan penjajahan Belanda. Seruan yang membuat
berkumpulnya laskar gabungan orang-orang Riau, Siantan, Naning, Lingga,
Inderagiri dan Bengkalis berjumlah ribuan orang, bersatu dengan semangat
patriotik bangkit melawan musuh yang bersenjata lengkap. Seruan ini juga
membuat mereka rela berkorban harta benda bahkan nyawa tanpa rasa takut, syahid
menemui ajalnya di jalan ALLah.
Seruan
kedua bergema di masa Yang Dipertuan Muda Riau VII Raja Abdurrahman, bertepatan
dengan 1 Syawal 1249 H (1832 M). Setelah selesai sholat Idul Fitri, beliau
menyampaikan khotbah dan menutup dengan doa, diumumkan kepada seluruh penduduk
Pulau Penyengat, bahwa akan dibangun sebuah masjid dari beton yang mencerminkan
keagungan agama Islam. Pada kesempatan itu diserukan kepada penduduk dan
segenap orang-orang yang berada di wilayah Kerajaan Riau Lingga untuk
menyumbang, beramal jariah dijalan Allah dan pembangunan akan segera
dilaksanakan. Seruan ini mendapat tanggapan luar biasa, berdatangan orang-orang
dari pelosok negeri yang merasa terpanggil untuk menyumbangkankan tenaganya.
Awal
pembangunan dimulai dengan membuat tapak bangunan mesjid, masyarakat secara
bergotong royong mengangkat tanah, pasir, batu dan kerikil menjadi pondasi
setinggi hampir 3 meter. Tidak tercatat berapa lama pembangunan mesjid tersebut
tetapi pengerjaan pondasi selama tujuh hari tujuh malam.
Dalam
riwayat pembangunan mesjid ini, tidak ketinggalan kaum wanitanya, anak-anak
bangsawan dan puteri-puteri raja. Mereka diberi waktu khusus pada malam hari,
karena dimalam hari kaum laki-laki beristirahat.
Riwayat
lain yang tidak kalah menariknya dalam
pembangunan masjid ini, orang-orang yang datang selain menyumbang tenaga,
terkumpul pula bahan makanan termasuk telur yang melimpah tidak habis dimakan.
Begitu banyaknya telur, pekerja hanya
mengambil bagian kuningnya saja untuk dimakan dan membuang putihnya.
Saat
itulah arsitek masjid asal India yang didatangkan dari Singapura, memanfaatkan
putih telur sebagai bahan campuran pasir, tanah liat dan kapur untuk lebih
memperkuat dinding beton masjid ini.
Simbol Kebersamaan
Dari riwayat
dan cerita seruan fisabilillah, baik pertempuran melawan penjajahan maupun seruan
pembangunan Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat, merupakan gambaran
kebersamaan dan semangat patriotik dari masyarakat Pulau Penyengat khususnya
dan masyarakat Kerajaan Riau Lingga umumnya dalam mempertahankan tanah tumpah
darahnya, dan membangun daerahnya.
Masjid
Raya Sultan Riau Pulau Penyengat tidak hanya menjadi kebanggaan masyarakat Pulau Penyengat tetapi
juga menjadi kebanggaan Kepulauan Riau bahkan Indonesia. Masjid ini merupakan simbol masyarakat agamis dan
semangat kebersamaan penduduk Pulau Penyengat yang harus tetap dipertahankan
untuk mewujudkan masyarakat sejahtera lahir dan bathin.
Untuk
itu jiwa dan rasa kebersamaan yang telah mengakar perlu dilestarikan sebagai
salah satu bentuk kearifan lokal yang terpelihara dan menjadi ciri khas
masyarakat Pulau Penyengat.
Pulau
Penyengat juga sedang dalam proses untuk ditetapkan sebagai Destinasi
Pariwisata Unggulan Daerah (DPUD) Provinsi Kepulauan Riau.
Logo Tanjungpinang Kampong Kite
FILOSOFI “TANJUNGPINANG KAMPONG
KITE!”
Kampong (kampung,
hometown) di dalam konteks “Tanjungpinangpinang Kampong Kite!” tidak seperti
definisi atau pengertian “kampung” sebagai daerah hunian masyarakat yang
berpenghasilan rendah dengan kondisi fisik yang kurang baik, atau kawasan kumuh
dengan ketersediaan sarana umum buruk atau tidak ada sama sekali.
Kampung di sini lebih mengarah
kepada pengertian kampung sebagai suatu lingkungan tradisional khas Indonesia
(Melayu), yang ditandai ciri kehidupan yang terjalin dalam ikatan kekeluargaan
yang erat. Di Tanjungpinang secara demografi masyarakatnya bersifat heterogen terdiri
dari berbagai suku/etnis yang ada di Indonesia.
Secara psikologis sebutan kampung
(kampong) akan membuat seseorang mengingat masa lalu, mengingat jejak-jejak
kehidupan yang pernah dijalani, bagi yang dilahirkan di daerah tersebut akan
mengenang sebagai tumpah darah.
Melalui slogan” Tanjungpinang
Kampong Kite!” diharapkan masyarakat baik yang berada di dalam maupun di luar
Tanjungpinang peduli untuk mewujudkan Tanjungpinang ke depan lebih baik, maju
dengan semangat “sense of belonging” yang tinggi dan bangga menjadi orang
Tanjungpinang.
Gambar “cogan” yang biasa disebut
dengan istilah “sirih besar” di latar belakang tulisan “Tanjungpinang Kampong
Kite!” merupakan salah satu dari benda kebesaran Kerajaan
Johor Pahang Riau Lingga memiliki makna bahwa di Tanjungpinang pernah ada
kerajaan yang melahirkan 2 (dua) Pahlawan Nasional, yaitu Raja Haji
Fisabilillah dan Raja Ali Haji (Penggubah Gurindam Dua Belas).
Langganan:
Postingan (Atom)